Memahami Secara Ilmiah Sebab Perbedaan Hari Raya Idul Adha

Kategori : Berita, Ditulis pada : 14 Juni 2024, 10:23:32

Umat tidak bosan bertanya-tanya setiap kali ada perbedaan dalam pelaksanaan dua hari raya besar, mengapa ibadah puasa dan salat Idul Fitri juga Idul Adha sering berbeda pelaksanaannya di beberapa negara, bahkan di kalangan warga muslim di Indonesia.

Pertanyaan ini baik untuk terus diajukan dan tidak seharusnya menjadi kebosanan bagi umat muslim. Pasalnya, bagi yang awam, hal ini akan mempengaruhi cara berpikir dan sikap mereka saat berinteraksi dan beraktivitas di masyarakat. Benar apa yang dikatakan oleh para ulama bahwa perbedaan dalam beragama harus dihormati ketika kita memahami dasar dan alasan ilmiah di baliknya, bukan karena militansi atau taklid buta semata.

Perbedaan tersebut bukanlah sesuatu yang dibiarkan terus terjadi. Para ulama dan ilmuwan berupaya keras mencari cara dan pengetahuan yang tepat sehingga dapat dipertanggungjawabkan di hadapan umat ataupun kelak di hadapan pengadilan hari akhir. Selama ini, umat muslim umumnya sangat awam mengenai ilmu falak dan pengetahuan astronomi yang berkaitan dengan sistem dan siklus pergerakan benda-benda langit.

 

WhatsApp Image 2024-06-14 at 10.30.30.jpeg

Padahal, ajaran Islam mewajibkan untuk mencari ilmu, bahkan disarankan agar tidak ada batasnya hingga liang lahat. Di balik kewajiban mencari ilmu, sebenarnya ada konsekuensi hukum dan lainnya. Ketika tidak mengetahui dan tidak memahami, akan muncul keraguan, kebingungan, dan yang lebih parah, kebodohan karena tidak mau tahu dan tidak peduli.

Sangat wajar jika umat terus-menerus kebingungan. Hal ini disebabkan, selain karena sebagian besar umat Islam tidak berusaha untuk mengetahui pengetahuan dan ilmu mengenai sistem perhitungan waktu dalam beribadah, juga karena adanya penyebaran pemahaman bahwa mempelajari dan memahami ilmu tersebut tidak wajib secara individual (ainiyah atau fardiyah), cukup diwakili oleh seseorang yang mengerti dan memahami. Akibatnya, banyak yang hanya mengikuti tanpa memahami.

Hal ini menjadi salah satu penyebab kebingungan di kalangan umat. Pasalnya, orang yang memahami ilmu tersebut belum tentu mampu memberikan penjelasan yang rasional kepada umat lainnya. Sehingga, tanpa disadari, semakin banyak umat yang tidak paham dan bingung terhadap apa yang mereka kerjakan.

Saat ini, bukan lagi saatnya bertanya mengapa ormas Islam ini dan ormas Islam itu berbeda. Pertanyaan yang seharusnya diajukan adalah bagaimana kita bisa turut mempelajari dan minimal memahami untuk diri sendiri mengenai apa dan bagaimana ibadah yang harus dikerjakan. Kalaupun kita mengikuti orang lain, kelompok, atau ormas Islam yang ada, hal itu harus tetap didasari oleh kesadaran nalar dan intelektual yang mendekati rasionalitas keilmuan syariat Islam.

Kita semua yakin, manusia adalah makhluk berpikir yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu, menghadapi dinamika perbedaan sebaiknya menjadi pemicu untuk memotivasi diri dalam mencari dan menggali ilmu, bukan untuk saling mencela dan menyalahkan satu sama lain.

Boleh jadi, selama ini umat muslim pada umumnya abai dan tidak peduli terhadap perbedaan yang terjadi dalam beragama Islam, khususnya yang menyangkut dinamika ibadah akibat perkembangan sains dan teknologi. Hal ini disebabkan oleh doktrin bahwa ilmu sains, teknologi, dan ilmu selain ilmu ritual ta’abudi merupakan kewajiban kifayah yang dianggap cukup diwakili oleh orang lain.

Akibatnya, tanpa disadari, lama-kelamaan muncul kebingungan dan keraguan dalam hati. Fenomena ini sebaiknya menjadi perhatian bagi siapa saja yang memahami dan mengerti, khususnya di tengah-tengah masyarakat muslim, untuk saling memberikan informasi dan pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan.

Melalui tulisan ini, kami ingin memberikan informasi mengenai fenomena perbedaan pandangan tentang Idul Adha. Disarikan dari media online pwmjateng.com, Wakil Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Kiai Abdul Fattah, menjelaskan beberapa hal yang perlu dipahami oleh umat muslim terkait perbedaan tersebut.

Pertama, khusus bagi Muhammadiyah, sistem penanggalan yang digunakan dalam beberapa dekade ini adalah kriteria wujudul hilal. Penentuan awal bulan Hijriah terjadi ketika bulan muncul di atas ufuk saat matahari terbenam pada tanggal akhir bulan berjalan. Secara astronomis, pergerakan bulan semakin ke barat membuat tinggi hilal (bulan Hijriah) semakin tinggi, dan semakin ke timur hilal, maka semakin rendah. Ini karena bulan terbit dari barat, berbeda dengan matahari yang terbit dari timur.

Kedua, perlu diketahui bahwa waktu salat di Indonesia kurang lebih empat jam lebih awal daripada di Arab Saudi, sedangkan Idul Adha di Indonesia lebih lambat. Selain itu, waktu perhitungan untuk shalat didasarkan pada pergerakan matahari yang terbit dari timur, sementara perhitungan untuk puasa dan Idul Adha didasarkan pada pergerakan bulan yang muncul dari barat.

Ketiga, saat ini sistem perhitungan tanggal dan bulan Hijriah di Indonesia, baik menggunakan pendekatan wujudul hilal maupun rukyat, salah satu syaratnya adalah terjadinya ijtimak (konjungsi), yaitu bertemunya tiga benda langit; bulan, matahari, dan bumi dalam satu garis lurus.

Keempat, patokan utama dalam sistem wujudul hilal adalah ijtimak (konjungsi) untuk menentukan posisi hilal, apakah sudah berada di atas ufuk atau masih di bawah ufuk. Jika masih di bawah ufuk, itu berarti belum masuk awal bulan. Selain itu, visibilitas hilal juga bergantung pada derajat ketinggian yang berbeda.

Sebagai studi kasus, perbedaan penetapan Idul Adha tahun 1445 Hijriah antara Arab Saudi dan Indonesia terjadi karena prinsip-prinsip di atas, khususnya pergerakan bulan. Menurut perhitungan astronomis, saat ijtimak (konjungsi), posisi hilal di Kota Jedah, Arab Saudi, sudah berada di atas ufuk dengan ketinggian +1°11’32”. Menurut teori wujudul hilal, ini menandakan awal bulan, sehingga pada tanggal 7 Juni 2024 sudah masuk 1 Zulhijah 1445 Hijriah.

Sementara itu, di Indonesia, pada waktu yang sama saat ijtimak, posisi hilal di Yogyakarta berada pada -3°32’39”. Karena posisinya minus tiga derajat, kriteria wujudul hilal menegaskan bahwa hilal masih di bawah ufuk sehingga baru pada tanggal 8 Juni 2024 mulai 1 Zulhijah 1445 Hijriah.

Yang menjadi pertanyaan dan keheranan adalah mengapa Arab Saudi, yang selama ini menggunakan pendekatan rukyat, pada kasus Idul Adha tahun ini, dengan ketinggian hilal pada +1°11’32”, yang secara astronomis relatif tidak dapat dirukyat, kemungkinan mengambil keputusan berdasarkan alasan dan dasar lain. Salah satunya adalah “Sepanjang ada seseorang yang mengaku melihat hilal (bulan) dan bersedia diambil sumpah, maka keputusan itu yang menjadi ketetapan Arab Saudi sebagai keputusan akhir yang harus dijalankan.”

Sementara itu, di Indonesia, Kementerian Agama RI secara resmi menggunakan kriteria MABIMS yang disepakati oleh beberapa negara ASEAN. Menurut kriteria ini, ketinggian hilal di atas ufuk harus minimal +3°.

Dalam waktu dekat, Muhammadiyah berupaya keras untuk mewujudkan ummatan wahidan dalam konteks kalender Hijriah. Insyaallah, Muhammadiyah akan mulai menggunakan pendekatan Kalender Hijriah Global tahun depan. Dasar dan pijakan dari pendekatan ini adalah merumuskan kalender Hijriah yang berlaku untuk seluruh umat muslim di seluruh dunia.

Hal ini merupakan salah satu komitmen Muhammadiyah dalam menjalankan amanah kongres tingkat internasional serta peduli terhadap kesatuan dan persatuan umat Islam di dunia. Semoga dalam implementasinya, diberikan jalan kebaikan dan keberkahan bagi umat Islam di Indonesia dan masyarakat Muslim di seluruh dunia. Wallahu’alam.

Oleh: Ace Somantri

Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar

 
Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id